Kamis, 19 Februari 2015

This’s about a Traveller: Belajar dari Negeri Matahari Terbit


kalo lagi hobby moodnya baik ya gini kalo lagi suka buat essay tiap hari ada aja yang bakal jadi inspirasi :) ...

                                                     oleh Sherly Damayanti
Pemikiran ini berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, “Traveler sejati itu yang kayak gimanasih?” Dulu aku hampir pasti akan berpikir bahwa traveler sejati adalah yang sering sekali traveling (ke tempat wisata), bahkan mungkin dia selalu berkelana dan jarang pulang ke rumah. Sampai akhirnya aku sadar, bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Tentu kita semua tahu bahwa “traveler” berasal dari kata “travel”, yang oleh Wikipedia diartikan sebagai, “Travel is the movement of people between relatively distant geographical locations….” Sementara “traveler” berarti seseorang yang melakukan perjalanan dan “melakukan perjalanan” biasa disebut dengan “traveling”.

Noob question: “Di bagian manakah dari definisi tersebut yang menyebutkan bahwa traveling itu harus pergi ke tempat (atau untuk tujuan) wisata?” Aku yakin tidak ada dan tidak akan pernah ada, karena sejatinya traveling hanya berarti “melakukan perjalanan” tanpa peduli tempat apa yang kita tuju dan untuk tujuan apa.
Akhir-akhir ini makin banyak orang yang menyebutku sebagai traveler sejati, cuma karena aku sering traveling. Makin banyak pula yang menisbatkan diri sebagai traveler sejati cuma karena ia telah banyak keliling berbagai daerah atau negara. Se-simple itu kah? Jika memang se-simple itu, maka yang paling pantas dinobatkan sebagai traveler sejati adalah ? Hmm…

Aku masih sangat kecil kala itu, tahun kedua di sekolah menengah pertama. Pada pelajaran Bahasa Indonesia, kita semua ditugaskan untuk menuliskan karangan tentang harapan dan cita-cita saat besar nanti. Sungguh aku benci dengan pelajaran mengarang. Aku bukanlah sosok dengan sejuta kata-kata yang mampu menuntaskan aksara dengan sempurna. Tanganku lebih lihai mengaduk warna dan menatanya di atas kanvas, bukan menderetkan huruf rapi di atas kertas. Sebagai pengganti karangan, kulukiskan cita-cita lewat gambar, menggoreskan gradasi  pensil menjadi gambaran hitam dan putih. Waktu itu aku menggambar kapal-kapal besar penjelajah. Cita-citaku menjadi mereka, selalu mengarungi dan menyinggahi setiap sudut dunia. Aku kerap membayangkan sedang berdiri di depan geladak sambil memegang sebuah binokular. Memandang daratan nun jauh di seberang sambil berkata “Dua hari lagi kita sampai.” Persis bagai Columbus saat menemukan Amerika pertama kali.

Sebagai pengganti pula, aku dimarahi sejadi-jadinya, ujung rambutku ditarik sakit sekali. Setelah itu dihukum berdiri didepan dengan kaki terangkat sebelah. Gambar yang kugambar digantung di leher, isak tangisku parau menggantung di tenggorokan. Hukuman nampaknya tak menjadikan guruku puas. Anak nakal yang malah menggambar di pelajaran bahasa Indonesia ini diceramahi tentang macam-macam. “Mau jadi apa kau kelak? Indonesia tak butuh seniman. Belajar saja yang rajin sebab seni disini tak dihargai.” Memang sepertinya semua orang selalu (merasa) lebih tau bagaimana orang lain harus hidup.

Berawal dari sebuah pencarian jati diri kaki ini perlahan-perlahan melangkah menyusuri jejak-jejak  kehidupan yang penuh dengan 1001 tanda tanya. Tidak ada satupun bayangan yang terbersit di Otak ku tentang petualangan yang aku jalani ini. Disaat senja  yang begitu indah,Tapi terkadang sangat membosankan. Sering aku menanti datangnya malam yang menjanjikan berjuta mimpi-mimpi dan harapan-harapan dibalik hitam pekatnya langit malam. Bahkan terkadang sering aku habiskan malam tanpa mimpi-mimpi yang membuat aku terlena,hanya untuk mencari atau membuka tabir misteri dari kensunyian malam seorang diri. Dan ketika pagi telah menjemput aku pun selalu bersiap-bersiap mewujudkan segala mimpi dan harapan-harapan ku yang tercipta dimalam hari walaupun  terkadang hanya berujung menjadi kesedihan dihati. Lelah memang yang aku rasakan dan terkadang rasa penatpun hinggap di Otak dan jiwaku yang akhirnya menuju kepada sebuah titik kejenuhan.

Keliling dunia benar benar menjadi Liburan Impianku saat ini. Liburan keliling dunia, menjadi mimpi terbesar dalam hidupku sekaligus mimpi yang hampir mustahil untuk aku gapai saat ini. Melihat ekonomi keluarga yang pas-pasan, sekaligus melihat studi pendidikanku yang belum terselesaikan, membuatku gentar akan mimpiku yang begitu tinggi. Namun aku tetap percaya, dan terus percaya bahwa suatu saat mimpiku keliling dunia akan segera terwujud meskipun itu akan terwujud entah kapan.

          Traveling itu identik dengan mengunjungi sebuah objek wisata, belanja oleh-oleh, dan sibuk posting foto di Instagram untuk menunjukkan “I’m here!”. Sebagai seorang traveler, aku ingin sekali mencoba sesuatu yang baru dalam perjalananku menjelajahi suatu tempat. Tentu jenuh rasanya jika mengikuti sebuah grup tur yang mengharuskan aku mengikuti pola 5-6-7 alias jam 5 morning call, jam 6 breakfast, dan jam 7 berangkat!

Pergi traveling secara mandiri pun demikian. Memang tidak ada orang yang memaksa kita bangun pagi dan kita bebas menentukan acara. Membaca peta dan mengunjungi sebuah objek wisata memang menyenangkan awalnya. Tapi jika terus menerus demikian di semua tempat, rasanya kesan wisata seolah hanya mengambil foto dan suasana. Tidak ada kesan yang terlalu istimewa atau mendalam dari sebuah wilayah, kecuali mengatakan “bagus” dan “tidak bagus”.

Aku ingin sekali traveling dengan menjadi anak angkat di Jepang. Boleh dikatakan aku ingin sekali tersesat di sebuah daerah kecil di Jepang dan tinggal bersama penduduk setempat. Aku ingin melihat, merasakan, dan mengerjakan apa yang dikerjakan orang Jepang asli di pedesaan mengingat bangsa ini mempunyai kultur yang sangat kental. Seru rasanya tinggal dan tidur beralaskan tatami yang sederhana. Mencoba belajar bahasa Jepang dan tata krama yang ada lewat kehidupan sehari-hari. Mengikuti ritme kehidupan yang dipenuhi kerja keras, kesopanan, tepat waktu, dan tradisi yang kuat. Jalan-jalan bersama orang Jepang sebaya melihat wisata yang ada dari perspektif orang lokal, serta mandi bersama di onsen. Rasanya aku seolah dilahirkan kembali alias reborn sebagai orang Jepang dengan fisik orang Indonesia yang mampu mengenali budaya Jepang secara menyeluruh.

Aku percaya bahwa traveling adalah sebuah perjalanan sakral untuk menemukan diri. Melihat siapa jati diri kita sesungguhnya tanpa topeng kepura-puraan. Traveling itu menjadikan kita pribadi yang kaya akan pengalaman dan membentuk kita menjadi pribadi yang kuat. Berjalan ke suatu tempat, melihat dan merasakan hal-hal baru dan bertemu orang baru. Keluar dari comfort zone dan berusaha survive di tempat asing. Traveling membuat kita sadar posisi kita dan pengaruh tindakan kita pada alam. Beruntung jika kita bisa memberi pengaruh positif bagi orang-orang di sekeliling. Inilah yang paling aku suka saat traveling, belajar banyak hal. Singkatnya, traveling make me feel better, stronger and faster.

Impianku untuk dapat berdiri tegak di Negara yang terkenal dengan sebutan Negeri Sakura atau Negeri Matahari Terbit begitu menyiksa Logika. Banyak tempat yang ingi aku kunjungi sebagai destination selain Hokaido dan Tokyo salah satunya adalah daerah Chughoku. Chugoku merupakan Alam dan sejarah di bagian barat Pulau Honshu, Wilayah Chugoku ditandai dengan desa-desa dan kota-kota yang kecil tetapi tenang dan indah. Desa nelayan di tepi laut dan perkampungan di pegunungan. Inilah tempat yang harus dikunjungi jika ingin mencari pemandangan yang penuh nostalgia dan suasana terbaik dari Jepang pada masa lampau. Prefektur Okayama dengan taman dan pemandangan kotanya yang indah, Hiroshima kota sejarah dan budaya  dimana Dua puluh lima menit menggunakan kereta api dari Hiroshima dan 10 menit menggunakan kapal dari Miyajima-guchi akan membawa Anda ke Pulau Miyajima dan Kuil Itsukushima, tempat yang wajib dikunjungi. Keseluruhan pulau, dengan luas 30 km2, ditunjuk oleh pemerintah sebagai Special Historic Site (Situs Bersejarah Penting) dan Special Place of Scenic Beauty (Tempat Terindah yang Penting). Bangunan kuil dihubungkan dengan koridor-koridor yang membentang di atas air laut, sehingga saat air pasang, seluruh bangunan seperti mengapung di laut.. Selanjutnya Kota Samurai Hagi yang merupakan tempat kelahiran banyak samurai penting yang memimpin peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan Restorasi Meiji serta Tottori Sakyu (Bukit Pasir Tottori) yang merupakan salah satu dari tiga bukit pasir utama di Jepang.
Impian ini begitu besar penuh dengan harapan dan cita-cita. Aku percaya dengan istilah “the power of dreams, I have many dreams, I believe it can make a real dreams ..’’

Referensi :
Website :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar